Udang Udang - Korea Selatan saat ini tengah menghadapi fenomena menarik dalam dunia bisnis dan demografi: penjualan stroller anjing yang lebih tinggi daripada stroller bayi. Hal ini mencerminkan perubahan signifikan dalam pola hidup dan preferensi masyarakat Korea Selatan, khususnya dalam konteks rendahnya angka kelahiran di negara tersebut. Artikel ini akan membahas penyebab dan dampak dari fenomena ini secara mendalam, termasuk perubahan sosial dan kebijakan pemerintah yang diambil untuk mengatasi masalah tersebut.
1. Lonjakan Pembelian Stroller untuk Hewan Peliharaan
Korea Selatan telah lama dikenal sebagai negara dengan salah satu tingkat kesuburan terendah di dunia. Pada tahun 2023, rata-rata jumlah bayi yang diharapkan per perempuan hanya mencapai 0,72, menurun dari 0,78 pada tahun sebelumnya. Penurunan angka kelahiran ini memicu kekhawatiran di kalangan pembuat kebijakan mengenai dampak jangka panjang terhadap perekonomian serta populasi lansia di negara tersebut. Dalam konteks ini, penjualan stroller anjing mencatat lonjakan yang signifikan.
Penjualan stroller anjing telah meningkat empat kali lipat sejak 2019. Di Gmarket, salah satu platform e-commerce terbesar di Korea Selatan, penjualan stroller anjing untuk pertama kalinya melampaui penjualan stroller bayi. Model-model stroller anjing yang lebih mewah bahkan bisa dijual dengan harga mencapai $1.100, menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya membeli stroller untuk fungsinya, tetapi juga untuk alasan gaya hidup.
Yoon Hyun-shin, CEO dari Pet Friends—platform belanja hewan peliharaan online terbesar di Korea—menyatakan bahwa kepemilikan hewan peliharaan telah menjadi tren besar. Banyak orang yang lebih memilih untuk merawat hewan peliharaan daripada anak-anak, yang mungkin mencerminkan pergeseran nilai dan prioritas dalam masyarakat Korea Selatan.
2. Respons Pemerintah terhadap Penurunan Angka Kelahiran
Menyadari tantangan demografi yang dihadapi, pemerintah Korea Selatan telah mengalokasikan hampir $300 miliar (sekitar Rp4,5 triliun) untuk berbagai insentif guna meningkatkan angka kelahiran. Beberapa langkah yang diambil termasuk subsidi perawatan anak, pembayaran tunai kepada keluarga yang memiliki anak, dan inisiatif pro-natal lainnya. Dalam beberapa kasus, pemerintah daerah bahkan menawarkan hingga $70.000 (sekitar Rp1 miliar) per bayi sebagai insentif bagi keluarga baru.
Namun, meskipun berbagai langkah ini telah diambil, hasilnya belum signifikan. Banyak anak muda di Korea Selatan menghadapi berbagai hambatan untuk memulai keluarga, terutama di kota-kota besar seperti Seoul yang terkenal dengan biaya perumahan yang tinggi. Keputusan untuk memiliki anak sering kali dipengaruhi oleh faktor finansial dan kestabilan pekerjaan, yang membuat banyak generasi muda ragu untuk berkomitmen membangun keluarga.
3. Perubahan Pola Pikir dan Gaya Hidup
Salah satu alasan utama mengapa anak muda Korea Selatan enggan untuk menikah dan memiliki anak adalah perubahan pola pikir dan nilai-nilai dalam masyarakat. Menurut Profesor sosiologi Jung Jae-hoon dari Universitas Perempuan Seoul, generasi muda cenderung lebih fokus pada pencapaian kesuksesan pribadi dan kenyamanan hidup dibandingkan dengan berkomitmen pada pernikahan dan keluarga. Hal ini menyebabkan mereka lebih memilih untuk menghabiskan uang untuk pengalaman dan barang-barang yang meningkatkan gaya hidup mereka, termasuk merawat hewan peliharaan.
Kepemilikan hewan peliharaan, khususnya anjing, telah menjadi simbol status bagi banyak orang. Mereka tidak hanya dianggap sebagai teman, tetapi juga sebagai anggota keluarga. Sebagai hasilnya, banyak pemilik hewan peliharaan yang rela mengeluarkan uang untuk stroller hewan peliharaan, perlengkapan, dan layanan kesehatan yang berkualitas.
4. Kebijakan dan Inisiatif untuk Meningkatkan Angka Kelahiran
Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, telah menyebut krisis angka kelahiran sebagai "darurat nasional." Dalam upaya untuk membalikkan tren ini, ia baru-baru ini menunjuk seorang sekretaris setingkat kabinet untuk mengawasi langkah-langkah pro-natal yang diambil oleh pemerintah. Meskipun Yoon sendiri adalah pecinta hewan peliharaan—merawat lebih dari sepuluh kucing dan anjing—ia menyadari perlunya perubahan mendasar dalam masyarakat untuk memfasilitasi peningkatan angka kelahiran.
Kebijakan yang diperkenalkan oleh pemerintah juga mencakup berbagai inisiatif kreatif. Contohnya, acara perjodohan dengan hadiah uang tunai bagi pasangan yang bertemu dan membentuk hubungan, serta upaya untuk memperpendek waktu perjalanan untuk meningkatkan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan. Namun, tantangan yang dihadapi dalam mengubah pola pikir generasi muda tetap signifikan.
5. Dampak Sosial dan Ekonomi dari Penurunan Angka Kelahiran
Penurunan angka kelahiran di Korea Selatan tidak hanya berdampak pada struktur demografis negara, tetapi juga memiliki implikasi ekonomi yang luas. Dengan semakin sedikitnya populasi usia produktif, akan ada peningkatan jumlah populasi lansia yang membutuhkan dukungan dan perawatan. Hal ini dapat membebani sistem kesehatan dan jaminan sosial, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Sementara itu, meningkatnya minat terhadap hewan peliharaan dan produk-produk terkait, seperti stroller anjing, telah menciptakan pasar baru yang menguntungkan. Perusahaan-perusahaan yang berfokus pada produk dan layanan untuk hewan peliharaan terus berkembang, dengan banyak yang melihat potensi besar dalam industri ini. Namun, pertumbuhan ini terjadi di tengah tantangan yang lebih besar yang dihadapi oleh masyarakat, termasuk masalah demografi yang mendalam.
6. Perbandingan dengan Negara-negara Tetangga
Fenomena serupa juga terlihat di negara-negara Asia Timur lainnya, seperti Jepang, China, dan Taiwan, yang juga mengalami penurunan angka kelahiran yang signifikan. Jepang, misalnya, memiliki tingkat kesuburan sebesar 1,26, sementara China dan Taiwan masing-masing mencatatkan angka 1,0 dan 0,85. Negara-negara ini juga telah mencoba berbagai kebijakan pro-natal untuk meningkatkan angka kelahiran, namun tantangan yang dihadapi tetap besar.
Dalam konteks ini, perbandingan dengan negara-negara lain menunjukkan bahwa penurunan angka kelahiran bukan hanya masalah lokal, tetapi merupakan isu yang kompleks dan berlapis yang dihadapi oleh banyak negara maju. Ketergantungan pada hewan peliharaan sebagai pengganti anak-anak dapat dilihat sebagai salah satu bentuk respons sosial terhadap perubahan ekonomi dan budaya yang lebih luas.
Baca Juga : Tragedi di Kepulauan Canary Seorang Turis Meninggal Akibat Serangan Hiu
Fenomena stroller anjing yang lebih laku daripada stroller bayi di Korea Selatan merupakan indikasi jelas dari perubahan dalam pola hidup masyarakat dan tantangan demografi yang dihadapi oleh negara ini. Meskipun pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan angka kelahiran, banyak generasi muda yang masih memilih untuk fokus pada diri sendiri dan hewan peliharaan mereka.
Dengan memantau tren ini, pelaku bisnis dan pembuat kebijakan dapat lebih memahami kebutuhan dan keinginan masyarakat, serta merumuskan strategi yang lebih baik untuk mengatasi masalah ini. Melihat ke depan, penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung bagi keluarga baru dan menjadikan parenting sebagai pilihan yang menarik di tengah perubahan sosial yang berlangsung. Cari tahu juga informasi menarik dan terupdate lainnya di Liputan Info
Social Header